Buku tentang peran opium pada tahun 1945-1950
di Surakarta. Dilengkapi literatur-literatur yang membahas opium sesuai pada
zamannya. Berusaha menelaah bentuk-bentuk perdagangan dan penggunaan candu di
kota Surakarta pada masa revolusi.
Pergerakan para pejuang pada masa revolusi di
Surakarta, ternyata ada pengaruh dari perdagangan candu pada masa itu. Meski
Soekarno mengharapkan pemindahan kekuasaan dengan cara seksama dan dalam waktu
sesingkat-singkatnya. Para pejuang di Surakarta perlu waktu yang cukup lama
untuk bisa mewujudkannya. Melalui kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta,
pemerintah Indonesia mengelola dan menjual candu guna ditukarkan dengan
senjata, biaya perjuangan, pembelian pakaian-pakaian, bahkan digunakan untuk
membeli kancing-kancing baju para pejuang.
Proses pemindahan kekuasaan di Surakarta
berjalan penuh dengan heroisme dan pergolakan-pergolakan. Bagi para pejuang,
proses pemindahan kekuasaan di Surakarta harus dijalankan dengan melucuti
senjata Jepang dan penguasaan atas sarana dan prasarana yang diduduki oleh
serdadu Jepang (halaman 27).
Setelah perjanjian tahun 1677, aktivitas
perdagangan candu di Jawa meningkat pesat. Daerah-daerah yang terlihat sangat
pesat aktivitas konsumsi candu adalah daerah pesisir Jawa dan daerah pusat
Mataram yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Surakarta merupakan salah satu
penyumbang keuntungan terbesar bagi pemerintah kolonial Belanda karena
merupakan salah satu pusat kekuasaan Jawa yang dihuni oleh priyayi-priyayi kaya
dan orang-orang cina. Para priyayi dan orang-orang cina merupakan konsumen
terbanyak dari pengguna candu (halaman 69).
Sebenarnya, merajalelanya penggunaan candu di
Surakarta mendapat banyak kecaman. Selain kecaman yang datang dari muslim
ortodok, orang-orang jawa dari aliran etika dan tradisional. Paku Buwana IV pun
mengecam penggunaan candu lewat syair didaktik panjangnya yang berjudul Wulang
Reh.
Sedangkan bagi orang pengisab candu //
kemalasan bercampur dengan sikap masa bodoh // satu-satunya hal yang disukainya
adalah menghadapi sebuah lampu teplok sementara // ia duduk di sebuah bale-bale
sambil bertopang kaki dan tangannya dengan santai nya memegang pipa madat (halaman 70).
Kesulitan dalam bidang ekonomi pada masa
revolusi menyebabkan pemerintah kesulitan mencari dana untuk perjuangan. Hal
itu menyebabkan pemerintah secara diam-diam memanfaatkan candu, agar mampu
dengan segera menyediakan dana untuk kebutuhan perjuangan. Kementrian keuangan
pada masa itu menghimbau agar kepolisian mengizinkan para pejabat kantor regi
candu menjual candu keluar negeri. Candu tersebut nantinya akan ditukarkan
dengan emas dan mata uang asing.
Walaupun pusat pemerintahan Republik Indonesia
berada di kota Yogyakarta sejak tanggal 4 Januari 1946, tetapi kantor yang
mengurusi masalah candu dipusatkan di Surakarta. Menurut Jianto Ibrahim, dari
pemberian nama untuk kantor candu di Surakarta yang berbeda dengan kantor candu
lainnya. kantor candu di Surakarta diberi nama dengan Kantor Besar Candu dan
Garam Surakarta, sedangkan di kantor candu di Kediri dan Yogyakarta tidak
diberi tambahan kata “besar”. Hal ini memperlihatkan bahwa pusat kantorcandu
adalah di Surakarta.
Keputusan untuk menyetujui banyaknya candu yang
akan diberikan atau dijual kepada badan-badan perjuangan atau institusi
tertentu sangat tergantung dari persediaan candu. Candu yang masih mentah
biasanya disimpan di Kantor regi Candu dan Garam di Kediri. Hal ini bukan
berarti bahwa beberapa wilayah tidak terdapat areal penanaman candu (halaman
87).
Dalam praktiknya, penyelundupan atau penjualan
candu keluar negeri harus dikawal oleh angkatan perang. Perintah ini
dimaksudkan agar penjualan candu berada dalam kondisi aman, mengantisipasi
kemungkinan adanya perampokan atau
perampasan dalam perjalanan.
Demi keamanan
dan kerahasiaan perdaganagan candu, pemerintah melalui Kementrian
Pertahanan Bagian Intendance meminta seluruh bandan perjuangan dan pihak-pihak
yang terkait dengan perdagangan candu menjaga kerahasiaan tentang masalah candu
tersebut. Hal ini dikarenakan apabila aktivitas ini diketahui oleh masyarakat.
Maka akan menimbulkan kekacauan yang nantinya dikhawatirkan akan sulit
ditangani oleh pemerintah.
Pemerintah menerapkan standar ganda dalam
pemakaian candu pada masaa Revolusi. Pada satu sisi, pemerintah menggunakan
candu untuk kepentingan perjuangan dan mencari dana untuk keberlangsungan pemerintahan. Pada sisi lain
pemerintah melarang rakyat Indonesia memiliki atau menggunakan candu tanpa
izin. Meskipun begitu banyak masyarakat di Surakarta yang masih tetap
menggunakannya. Hal itu mungkin dikarenakan hukuman yang diberikan kepada
pemilik atau pengguna candu termasuk pidana ringan (tipiring). Hukumannya
berupa kurungan dan denda yang sangat ringan. Seperti yang dialami
Djojosoekanto, ia memiliki candu tanpa izin dan didenda 30 rupiah atau kurungan
selama tiga hari (halaman 108).
Dalam prolognya, Julianto Ibrahim mengatakan
pada masa hiruk-pikuk bangsa ini mempertahankan kemerdekaaannya, ternyata ada
perdagangan candu, baik itu demi mendanai perjuangan atapun oleh keuntungan
dari bisnis illegal, diharapkan membuat kita menjadi lebih arif dalam menyikapi
masa lalu.(*)
Arif
Rohman
Kudus, 22 Oktober 2013
Kudus, 22 Oktober 2013
*)Resensi buku ini pernah tayang di
Koran Muria Edisi No. 121 Tahun I, Minggu Legi 3 November 2013, halaman 21.
Judul : Opium dan
Revolusi : Perdagangan dan Penggunaan Candu di Surakarta Masa Revolusi
(1945-1950)
Penulis : Julianto Ibrahim
Penerbit : Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I,
Februari 2013
Tebal : xxx+157 halaman
ISBN :
978-602-02-0005-7
Belum ada tanggapan untuk "Saat Opium Menjadi ‘Solusi’ di Masa Revolusi"
Post a Comment