Berpuisi Sama dengan Bermeditasi

Menulis puisi kita perlu masuk dalam ranah perenungan. Memunguti hal-hal yang bertebangan dalam pikiran untuk menaruhnya dalam kata-kata. Saya kira ketenangan penyair dalam menulis puisi sama dengan ketenangan orang bermeditasi. 

Membaca buku kumpulan puisi terbaru Bagus ini, kita akan mendapati 33 puisi yang terbagi menjadi dua bagian. Bagian I : Pastoral dan Bagian II: Munajat. Menikmati puisi, pembaca perlu membekali diri dengan kosa kata yang cukup, juga referensi buku, film, dan lain-lain.

Bagus mengantarkan pembaca dengan kisah seorang ibu yang terlihat khusuk tidur di atas mobil pikup beralaskan tumpukan sayur kangkung yang menggunung. Lalu lalang kendaraan tak sedikit pun mengganggu ketenangan tidur ibu tersebut. Bagus mengaku, ketenangan semacam itulah yang ia buru selama ini. Ketenangan yang ia ibaratkan serupa milik Zen.

Kita beralih membaca puisi berjudul Meditasi (halaman 42) : 1- tuhan yang terbungkus kata-kata/ takkan tergapai kebenarannya// mata ini membelokkan ketiadaan/ dalam kebutaan// lubuk cahaya/ telah aku hisap// 2- hanya karena daun-daun jatuh/ seseorang mengaku penyair/ hanya karena bulan memanggil/ seseorang mengira diri penyair// 3- kenapa kita gembira/ akan kutukan/ khuldi bersitumbuh/ pada tubuh?// di detak terakhir/ kumuntahkan gelap itu.

Seumpama proses bertaubat. Puisi Meditasi menyoal pengakuan tentang hakikat Tuhan. Bahwa bertuhan itu tidak cukup dengan kata-kata. Misalnya, sebagai pembicara, seorang terkadang perlu tampil serba bisa. Jika itu tokoh agama, ia harus tampil sealim mungkin, paling tidak dilihat dari kata-kata yang ia ucapkan.

Laku semacam itu terkadang tanpa sadar membuat seseorang terjebak dalam kemunafikan. Seseorang itu bisa orang lain atau diri kita sendiri.
Barangkali, membaca puisi bisa menjadi jalan bermeditasi. Memasuki dunia ketenangan –penuh perenungan. Lewat pengantar, kisah seorang ibu dalam yang bisa tidur dengan pulasnya. Meski, deru kendaraan lalu lalang disampingnya. Seolah-olah membawa pesan; bisakah kita beribadah sekhusyuk itu, tak tergoda oleh keadaan sekeliling kita?

Dan menyoal membaca puisi, apakah kita bisa, misalnya membaca buku kumpulan puisi Bagus ini di tengah keramaian pasar tradisional?

--Arif Rohman, tinggal di Kudus. Instagram: @arifrohman.1992


Judul : Menatap Kesedihan dari Waktu ke Waktu
Penulis : Bagus Dwi Hananto
Penerbit : BASABASI
Tahun : Cetakan Pertama, Agustus 2017
Tebal : 60 halaman
ISBN : 976-602-6651-08-2

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Berpuisi Sama dengan Bermeditasi"

Post a Comment