Ayah Roesdi bernama Haji Soelaman, lurah desa
Janggalan, Kudus. Awalnya Haji Soelaiman
berharap, saat dewasa, Roesdi jadi lurah seperti dirinya. Namun, Roesdi ternyata
lebih berminat untuk berwiraswasta. Haji Soelaiman pun memilih mendukung minat
anaknya itu. Bentuk dukungan itu bisa dilihat dari diberikannya modal untuk
Roesdi merantau ke Malang.
Kiprah
Nitisemito
Sejak umur 17 tahun, Roesdi mulai merantau ke Malang berbekal kemampuan
menjahit yang dimilikinya. Pada masa itu, kota Malang seringkali jadi
perantauan orang Kudus, terutama yang berkemampuan menjahit. Karena persaingan
pada bisnis ini ketat, Roesdi memutuskan pulang ke Kudus dan memulai usaha menjual
minyak kelapa. Sayang, usahanya itu menemui kegagalan, bisnisnya pun gulung
tikar.
Ketidakberhasilan Roesdi pun berganti-ganti,
mulai dari bisnis minyak kelapa, berdagang kerbau, pengusaha dokar atau delman,
sampai suatu ketika ia melihat peluang dari fenomena pembuatan rokok klobot yang sedang tumbuh di kota Kudus.
Roesdi menikah dengan perempuan dari desa
Singocandi, Nasilah. Setelah menikah, Roesdi mengubah namanya menjadi Mas
Nitisemito (hlm 15). Dan mendirikan usaha warung kopi dan tembakau.
Di warung milik M. Nitisemito seringkali
dijadikan tempat kongkow-kongkow para kusir dokar, dan nginang (menguyah daun sirih). Kebiasaan nginang ini membuat jengkel Nasilah karena warungnya jadi kotor
oleh ampas sirih.
Dari sinilah muncul ide menjual rokok klobot -racikan tembakau yang dicampur
dengan cengkeh lalu kemudian dibungkus dengan klobot (daun jagung kering ) dan diikat dengan benang (hlm 20). Dan
ternyata rokok klobot bikinan Nasilah
digemari para kusir yang mampir ke warungnya. Ampas sirih dari nginang pun tak
lagi jadi persoalan, karena para kusir beralih merokok.
Penulis buku ini, Erlangga Ibrahim dan
Syahrizal Budi Putranto menduga, dalam membuat rokok klobot, Nitisemito terinspirasi dengan Roro Mendut yang hidup di
abad-17 (hlm 20) dan juga Hadji Djamhari yang disebut-sebut sebagai penemu
rokok kretek di Kudus (hlm 23). Sayang, itu hanya sebatas dugaan.
Masukan dan kritikan dari pembeli atas rokok
klobot buatan Nasilah diperhatikan betul oleh Nitisemito. Kemudian usaha warung
ini pun, lambat laun beranjak menjadi pabrik Tjab Bal Tiga. Kelak M. Nitisemito dikenal sebagai Raja Kretek
karena usahanya ini.
Dalam masa kesuksesannya sebagai Raja Kretek,
M. Nitisemito juga ikut serta dalam perjuangan pergerakan nasional. Diceritakan
ia beberapa kali bertemu dengan Soekarno secara diam-diam di Villa milik
Nitisemito di Salatiga, untuk memberikan dana bantuan. Hal ini dilakukan agar
tidak dicurigai pemerintah Hindia Belanda.
Kedekatakan Soekarno dan M. Nitisemito, juga
terlihat dari isi pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, yang menyebut nama M.
Nitisemito. “Sebagaimana tadi telah saya
katakan, kita mendirikan negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya.
Semua buat semua! bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat
Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat
Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia –semua buat semua!” (hlm 60).
Keputusan
yang Menentukan
Semakin tinggi pohon, pun semakin kencang angin
yang menerjangnya. Dalam riwayat Nitisemito, angin itu berupa intrik keluarga,
yang pada gilirannya menciptakan bencana pada perusahaan rokok Tjab Bal Tiga (hlm 67). Ini bermula dari
usulan putri Nitisemito, Nahari, yang membujuk agar putranya Akwan memimpin
pabrik Tjab Bal Tiga.
Nitisemito semula ragu memutuskan, sebab
Akwan belum berumur 20 tahun. Namun
karena itu usulan putrinya, yang belakangan diketahui Nitisemito juga didukung
istrinya, Nasilah. Nitisemto pun memutuskan Akwan menjadi pemimpin di pabrik Tjab Bal Tiga. Keputusan ini, pada
akhirnya mengawali kehancuran bisnisnya.
Keputusan pertama Akwan saat memimpin pabrik
rokok Tjab Bal Tiga adalah merekut
seorang Belanda yang merupakan mantan pegawai pajak pemerintah kolonial untuk
mengelola perusahaan. Keputusan yang memberi peluang pemerintah Hindia Belanda
membuktikan kecurigaan atas Nitsemito yang telah mendanai perjuangan
tokoh-tokoh pergeraan nasional, seperti Bung Karno. Akwan tidak tahu, kalau
Nitisemito sudah lama dicurigai Belanda.
Buku ini sekilas tidak jauh beda dengan buku Raja Kretek Nitisemito (1980) karya Alex
Soemadji Nitisemito atau cucu M. Nitisemito. Hal ini berakibat tidak banyak
data baru terkait M. Nitisemito yang disajikan buku ini. Sisi positif hadirnya
buku ini barangkali adalah mengingatkan kita pada sosok Raja Kretek yang tak
banyak diketahui –sosok yang terlupakan.
Terkait penampilan foto-foto pendukung dalam
buku, penulis kurang rinci dalam penyebutan sumber dan keterangan foto. Misalnya
penampilan foto kantor perusahaan rokok Tjab
Teboe & Cengkeh milik H. Moeslich (hlm 69). Akan lebih rinci jika
disebutkan juga lokasi bangunan tersebut, sumber foto, dan keadaan bangunan
tersebut sekarang.
Selain itu, tidak adanya penjelasan profil
penulis dalam buku ini memberi kesan aneh. Dan menimbulkan pertanyaan dalam
benak pembaca; mengapa tidak dicantumkan profil penulis?
Terlepas dari itu, kita butuh buku-buku
semacam ini agar generasi hari ini tahu kisah generasi sebelumnya. Riwayat Raja
Kretek, M. Nitisemito memang berakhir dengan kegagalan. Meski begitu, membaca
riwayatnya, mengingatkan pembaca agar belajar dari pengalaman orang lain. Kita semua
sepakat pengalaman adalah guru yang paling baik, bukan?(*)
Arif
Rohman
Kudus, 14 Desember 2015
Kudus, 14 Desember 2015
Judul
: Raja Kretek M. Nitisemito; Pengusaha Pribumi Terkaya Sebelum Kemerdekaan
Penulis
: Erlanga Ibrahim & Syahrizal Budi Putranto
Cetakan
: Pertama, September 2015
Penerbit
: PT Batara Ahara Nusa
Tebal : vi+100 halaman
Maaf kalau boleh tahu buku ini dijual di mana ya? Saya mau cari
ReplyDelete